Halaman


Senin, 15 November 2010

salah tangkap

Sebuah cerpen yang bias dibuat untuk drama:

Salah Tangkap

Aku terkejut menyaksikan keadaan kolam itu, karena semua ikan itu mati. Sekarang ikan-ikan yang banyak itu mengambang di permukaan air. Sepertinya tidak ada yang tersisa. Semua jenis ikan yang besar maupun kecil mati. “Ada orang yang menjatuhkan potas disini,” kataku sambil meraih bangkai ikan yang mengambang dekat kakiku. “Keadaan ini belum lama, orang yang melakukan pasti sebentar lagi akan dating. Aku harus memberinnya pelajaran!”
Aku marah sekali melihat ikan-ikan kecil ikut mati. Aku tau kolam itu milik Pak Lurah. Beliau pasti marah melihat ini semua.
Aku segera menyingsingkan celana berniat turn ke kolam. Tapi, baru saja hendak turun, seseorang memukul kepalaku. Aku jatuh tersungkur . belum lagi hilang rasa pusing kepalaku, dua orang telah menyeret tubuhku, “Cepat jalan! Kau akan kami bawa ke rumah Pak Lurah karena meracuni ikan-ikan itu.” Aku hendak melawan kedua orang itu, tapi perlawananku tidak da artinya, karena kedua orang itu kuat dan garang.
Orang berbondong-bondong mengikuti kami ke rumah Pak Lurah. Seperti pencuri saja rasanya, diiring-iring ke kelurahan. Hatiku marah sekali, tetapi apa daya.
Sampai di kelurahan, Pak Lurah langsung bertanya kepadaku. “Kenapa kamu lakukan itu, anak muda?”
“Bapak Lurah yang saya hormati, saya adalah pencinta alam dan penyayang binatang, saya sering ikut memberikan penerangan-penerangan yang belum mengikuti akan pentingnya memelihara alam dan lingkungan sekitar, tapi kedua orang itu telah menuduh saya membunuh ikan kepunyaan Bapak. Nah .. tuduhan itu saya bantah, saya tidak melakukannya.”
“Anak muda, kau tidak bias membela diri karena ada bukti dan saksinya,” sambung Pak Lurah. “Apa buktinya, Pak?” kataku. “Buktinya ikan-ikan yang mengambang di permukaan air hendak kau kumpulkan, Rasum dan Karto menyaksikan hal itu,” kata Pak Lurah. “Tapi saya tidak melakukannya,” sanggahku. “Tidak ada orang lain di tempat itu selain kamu,” sambung Pak Lurah.
Tiba-tiba seorang wanita keluar dan berteriak, “Tidak.. Bukan..! Ayah, dengarkanlah keteranganku. Bukan dia yang meracuni ikan-ikan kita, tetapi orang lain. Ayah..dia adalah seorang yang mulia. Dia pecinta alam dan penyayang binatang. Dia selalu melindungi binatang-binatang dari gangguan manusia dan sebangsanya.” Pak Lurah terkejut mendengar kata-kata putrinya, Fatimah, yang memberondong bagaikan peluru.
Hatiku sangat lega. Untung Fatimah cepat keluar. Kalau tidak aku akan dibawa ke kantor polisi dengan tuduhan meracuni kolam ikan Pak Lurah
Setelah diselidiki, ternyata ikan-ikan itu mati karena tercemar limbah pabrikyang terletak tidak jauh dari rumah Pak Lurah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar